Ketika jamuan resepsi pernikahan Putri sulungnya, alm Raja Hassan II berbisik lirih di telinga menantunya "jangan kecewakan putriku, kalau tidak kamu yang kecewa", jawaban sang menantu malam itu hanya menganggukan kepala sebagai tanda persetujuannya, dan selanjutnya resepsi pernikahan putri Lala Maryam dan Fouad Filali berlangsung meriah dan berakhir bahagia sampai dikaruniai dua orang anak, Lala Soukaina dan Maulay Idris. Namun, di tahun 1999 tepat pada tahun meninggalnya sang ayah pernikahan antara keduanya pun berakhir. beragam spekulasi muncul waktu itu, semua media masa di Maroko menyoroti perceraian elit itu, dan yang paling mengesankan saya adalah ungkapan pendek Fouad Filali di majalah al Ayyaam "Pernikahan adalah kesepakatan rasa nyaman dua insan untuk terus bersama".
***
Tahun lalu, sebulan setelah tamat kuliah, salah seorang rekan saya menelpon, dengan semangat sekali ia mengabarkan berita kalau dia sudah diterima kerja di Departemen Pertahanan Maroko. Chimo -begitu biasa saya panggil dia- dengan senang hati menceritakan semua proses yang dilaluinya sampai ia diterima, dari mulai pendaftaran dan mengikuti tes tulis, tes lisan dan uji fisik, dan alhamdulilah ungkapnya dia sekarang sudah ditugaskan menjaga istana raja di kota ifrane dengan gaji yang cukup besar. Namun, sebulan yang lalu dia kembali menelpon saya, dengan lemas dia mengatakan kalau dia sudah berhenti, ketika saya tanya kenapa, dia hanya menjawab pendek, "istri saya tidak nyaman dengan pekerjaan saya".
***
Mungkin bila kita lihat selintas pengalaman di atas terkesan sedikit klise, dan terlalu sulit untuk mendapatkan kepastian sebab musababnya, hanya tidak bisa dipungkiri akan letak peran rasa nyamannya si tokoh adalah sebabnya. Meskipun sebenarnya kita sendiri sering terjebak dalam situasi dan kondisi yang tidak nyaman seperti itu, baik di rumah, di sekolah di pasar atau di kantor. Karena nyaman adalah sebuah kondisi dimana kita bisa beradaptasi dengan lingkungan kita dengan baik. Dan timbul dari diri kita sendiri setelah berinteraksi dengan lingkungan kita sampai membuat kita mampu bertahan lebih lama di dalamnya .
Bila dihubungkan kembali kepada kehidupan berkeluarga, maka kata sakinah-lah yang tepat untuk menggambarkan arti sebuah kenyamanan, karena istilah sakinah digunakan al Qur'an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Kata sakinah diambil dari akar kata yang sama dengan kata sakanun yang berarti tempat tinggal, sekaligus merupakan tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana nyaman dan tenang (mawadah wa rahmah).
Sehubungan dengan kata sakinah tersebut, beberapa ayat al Quran yang ditafsirkan mengandung kata nyaman, pertama surat al Baqarah ayat 248:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي
Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, "sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya tabut kepadamu, yang di dalmnya terdapat ketenangan (sakinah) dari Tuhanmu dan sisa peninggalan dari keluarga Musa dan Harun, yang dibawa oleh malaikat, sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran allah) bagimu, jika kamu orang yang beriman.
Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat, ayat tersebut menggambarkan di dalam peti tersebut terdapat ketenangan (sakinah) yang berarti tempat yang nyaman, tenang, aman dan kondusif untuk menyimpan sesuatu, termasuk dapat diartikan tempat tinggal yang tenang bagi manusia.
Kedua dalam surat al Fath ayat 4 :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَة فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حكيما.
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah bala tentara langit dan bumi dan dialah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di sini, sakinah adalah rasa ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin, ketenangan tersebut merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap orang yang mampu melakukannya, dan suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan buat seseorang yang mampu menciptakan suasana tenang bagi orang lain.
Untuk itu di mana pun kita berada, membangun sebuah kenyamanan tetap dimulai dari diri kita terlebih dahulu, yang nantinya kenyamanan bersama akan terasa dari beberapa individu yang telah mendapatkannya, sehingga terpancar suasana yang indah sekaligus membuat kita betah, baik di rumah atau di manapun kita berada. kebersamaan keluarga akan muncul menjadi nilai yang menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan yang lebih luas.
Ketiga dalam surat ar Rum ayat 21:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kebesarannya-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” Ar Rum:21
Sebenarnya, Ayat ini bagian dari cerita tanda-tanda keagungan Allah SWT, dan kekuasaan-Nya. Dari mulai penciptaan langit dan bumi sampai diciptakan manusia berpasang-pasangan yang dengannya terjadi kesinambungan hidup yang membawa kita merasa tentram menjalaninya.
Kata litaskunuu ilaihaa, dalam ayat tersebut dapat diartikan agar kau berteduh -wahai para suami- kepada istrimu. Kata litaskunuu diambil dari kata sakana yaskunu yang artinya berdiam atau berteduh. Seperti di atas tadi kata sakana ini merupakan akar kata untuk sakinah (nyaman). Memang bisa saja kata sakana diartikan tenang dan nyaman, namun pengertian dalam ayat ini lebih dalam lagi dari sekedar nyaman.
Syaikh Ibn Asyur dalam tafsirnya At Tahrir wat Tanwiir mengartikan kata litaskunuu dengan tiga makna:
Pertama, lita’lafuu artinya agar kamu saling mengikat hati, seperti uangkapan ta’liiful quluub. Dalam surah Al Anfal: 63 Allah berfirman: wa allafa baina quluubihim (Dialah Allah yang telah mempersatukan hati di antara mereka). Dengan makna ini maka antara suami istri hendaknya benar-benar membangun ikatan hati yang kuat. Dan sekuat-kuat pengikat hati adalah iman. Maka semakin kuat iman seseorang, semakin kuat pula ikatan hatinya dalam rumah tangganya. Sebaliknya semakin lemah iman seseorang, bisa dipastikan bahwa rumah tangga tersebut akan rapuh dan mudah retak.
Kedua, Tamiiluu ilaihaa artinya kau condong kepadanya. Condong artinya pikiran, perasaan dan tanggung jawab tercurah kepadanya. Dengan makna ini maka suami istri bukan sekedar basa-basi untuk bersenang-senang sejenak. Melainkan benar-benar dibangun di atas tekad yang kuat untuk membangun masa depan rumah tangga yang bermanfaat. Karenanya harus ada kecondongan dari masing-masing suami istri. Tanpa kecondongan pasti akan terjadi keterpaksaan dan ketidak harmonisan.
Ketiga, Tathma’innuu biha artinya kau merasa tenang dengannya. Dalam surah Ar Ra’d:28 Allah berfirman: alaa bidzikrillahi tathma’innul quluub (Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram). Dari sini nampak bahwa untuk mencapai ketenangan dalam rumah tangga hanya dengan banyak berdzikir kepada Allah.
Tentunya memang hal yang paling menyenangkan dan memberi kenyamanan jika kita bisa sama-sama saling mengajak sesama untuk mengingat Allah. Dan tidak luput mengakhiri tulisan ini, saya pun ingin mengajak pembaca yang sudah berkeluarga untuk tidak lupa mambaca do’a yang diambil dari hadits ini agar nyaman bersenggama:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا”
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Kalau salah seorang hendak mendatangi istrinya hendaknya ia berdoa, ‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkan syetan dari kami dan jauhkan syetan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.’ Karena jika ditakdirkan antara keduanya seorang anak, maka anak tersebut tidak akan dicelakakan oleh syetan selama-lamanya.”
Posted in:
Keluarga
on
03 May 2008
at
at
6:14 AM